Rabu, 12 Desember 2012

Hapuskan Libelarisasi Pendidikan di Indonesia



Pendidikan di Indonesia Mampu Berdiri Sendiri

Dalam alenia ke empat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dicantumkan tujuan-tujuan bangsa Indonesia diantaranya adalah “ Mencerdaskan kehidupan bangsa “. Untuk mencerdaskan anak-anak dan generasi penerus Negeri sudah dapat kita tebak salah satu sarana untuk mewujudkan tujuan ini adalah melaui pendidikan. Pendidikan adalah sebuah proses sistematis yang dilakukan oleh sebuah bangsa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang bersangkutan. Bagi indonesia sebagai sebuah Bangsa yang pernah terjajah selama tiga ratus lima puluh tahun, pendidikan harus pula dipandang sebagai proses sistematis untuk membebaskan diri dari bangsa lain.
Pendidikan berfungsi sebagai proses transformasi budaya, dimana pendidikan digunakan sebagi sarana untuk mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi. Karena sebuah Bangsa dikatakan ada apabila dia memiliki kebudayaan yang khas dan masih mengakar di masyarakatnya. Diera globlalisasi ini bukan hanya IPTEK saja yang beredar malampaui batas negara, tapi kebudayaan juga mengekor dibelakangnya. Dapat kita lihat generasi penerus bangsa kita telah terkontaminasi dengan budaya barat dan cenderung menganggap kuno budaya nya sendiri. Karna itu pendidikan diperlukan untuk menjadi filter segala pengaruh dari luar sehingga bisa mempertahankan kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Pendidikan juga sebagi proses penyiapan warga negara. Tentu yang diharapkan adalah warga negara yang baik, namun perlu di ingat kata “baik” itu sendiri relative. Yang dimaksud baik adalah seorang warga negara yang selaku pribadi yang tahu akan hak dan kewajibanya sebagai warga negara, sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tak ada kecualinya”. Selain kedua hal diatas pendidikan juga digunakan sebagai sarana penyiapan tenaga kerja.
Dari kaca mata ini kita tentu dapat mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia pantas menyandang predikat pendidikan yang gagal. Karna dari hasil survei pada tahun 2011 kualitas pendidikan di indonesia menempati urutan ke 12 dari 12 negara  di Asia Tenggara. dan mendapat gelar sebagai follower teknolgi dari 53 negara di dunia. Sungguh sebuah prestasi yang sangat mencoreng nama baik bangsa kita.
Bukanya kebudayaan nasional yang diwariskan namun kebudayaan mencopet dikalangan pejabatlah yang semakin mengakar kuat pada generasi bangsa ini. Bukanya warga negara yang baik yang dibentuk oleh pendidikan justru warga negara yang acuh terhadap kehidupan bangsanya. Dan bukan pula tenaga kerja yang profesional yang dicetak melainkan ribuan TKI yang siap mati ditangan juragan-juragan luar negri. Pendidikan yang gagal akan berakibat sangat fatal bagi sebuah negara. Dimana di era caos ini IPTEK dan uanglah yang  berbicara. Jika pada sektor ekonomi kita sudah kalah bersaing maka dalam pendidikan kita harus bisa bangkit dan berdiri tegak.
Dari uraian di atas dapat kita ketahui betapa pendidikan itu penting bagi sebuah bangsa. Pendidikan harus dimiliki dan dikuasai oleh bangsa itu sendiri karena pendidikan yang akan menentukan pada tingkatan yang mana Indonesia di masa yang akan datang. Namun sepertinya sebuah langkah yang salah telah diambil oleh para wakil kita. Sebuah perubahan baru pada wajah pendidikan di negeri kita pasca penandatanganan General Agreement on Trade in Service (GATS) pada Mei 2005 yang mengatur liberalisai perdangangan 12 sektor jasa, antara lain adalah layanan kesehatan, teknologi informasi dam komunikasai, jasa akutansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainya.  Dan perjanjian itu telah dikukuhkan dengan Perpres nomor 77 tahun 2007 yang menyiratakan bahwa pendidikan menjadi bidang usaha terbuka yang dialihkan dari tanggung jawab negara menjadi usaha bersama antara insvestor lokal maupaun asing dan masyarakat.
Dengan adanya liberalisasi dalam pendidikan maka para investor berpeluang besar untuk menguasai satu-satunya aspek yang dapat mengubah nasib bangsa ini. Apalagi perbedaan pandangan antara Indonesia dengan WTO yang sangat jauh berbeda. Indonesia mewajibkan pendidikan sebagai hak dan kewajuban bangsa Indonesia, sedangkan WTO memandang pendidikan tinggi sebagi salah satu industri sector tersier, karana kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak punya ketrampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan orang yang punya ketrampilan. WTO digunakan oleh negara negara maju untuk mengambil anak-anak orang kaya yang tergila-gila untuk bersekolah di luar negri. Sehingga pendapatan di negara mereka akan bertambah.
Dalam hal ini negara-negara majulah yang akan di untungkan. Tiga negara yang paling mendapaatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggris dan Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002, hh 104-105). Pada 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar atau Rp. 126 trilyun. Di Inggeris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari peneimaan sector jasa negara tersebut.
Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Exports mengungkapkan bahwa pada 1994 sector jasa telah menyumbangkan 70 persen pada PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekpor total negara Kangguru tersebut, Sebuah survey yang diadakan pada 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekpornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Ekpor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut amat getol menuntut liberalisasi sector jasa pendidikan melalui WTO.
Dengan adanya liberalisasi tersebut lima perguruan tinggi negri berubah menjadi BHMN . Perubahan status badan hukum ini membuat perguruan tinggi di atas mencari sumber pendananaan yang lain di luar subsidi pemerintah. Liberalisasi pendidikan ini hanyalah bentuk lepas tangan pemerintah terhadap bidang pendidikan. Karna dengan adanya liberalisasi dalam pendidikan akan mengurangkan bahkan meniadakan subsidi pemerintah terhadap pendidikan di Indonesia. Karna segala pendanaaan dibebankan kepada mahasiswa. 
 Sungguh kenyataan yang mencengangkan melihat kondisi pandapatan warga indonesia.
Adanya liberalisasi dalam pendidikan hanya akan membuka rekahan jarak yang baru bagi si kaya dan si miskin di Indonesia.  Karena dengan sistem tersebut hanya orang-orang yang kaya saja yang dapat menyekolahkan anakanya di perguruan tingggi yang ternamana dan berkualitas. Seakan akan liberalisasi pendidikan ini berkata bahwa perguruan tinggi ternama dan berkualitas haram untuk orang miskin. Padahal dalam UU hak kita adalah sama, sama-sama memperoleh hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dari hal ini terbukti sudah bahwa liberalisasi menyebabkan kesempatan anak dari keluarga miskin makin sempit peluangnya untuk kuliah, bahkan liberalisasi ini pada akhirnya akan membuat anak-anak yang memiliki semangat untuk kuliah menjadi padam. Dan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar