Senin, 24 Desember 2012

Sterilisasi Korupsi Di Ranah Pendidikan, Sebagai Upaya Menjinakan Komersialisasi dan Komoditasi Pendidikan.


Sterilisasi Korupsi Di Ranah Pendidikan, Sebagai Upaya Menjinakan Komersialisasi dan Komoditasi Pendidikan




                                   
Abstrack
Dalam Pembukaan UUD 1945 tertera tujuan berdirinya negara Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan di indonesia telah dikomersialisasikan dan diakomodasikan. Pendidikan telah jauh melenceng dari tujuannya yaitu untuk pembebasan. Pada tahun 2011 sektor pendidikan paling banyak dikorupsi. Asas desentralisasi dalam ranah pendidikan juga menciptakan aktor-aktor korupsi baru. Berbagai modus korupsi seperti dana untuk DAK, penggandaan buku  semakin marak. Sementara itu keacuhan masyarakat tentang dunia pendidikan juga semakin besar. Angka pustus sekolah kian marak sedangkan implementasi UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisten pendidikan Nasional   pasal 31 ayat 2 tertera tidak pernah terlihat.
Key Word : Pendidikan, Angka Putus sekolah, Komersialisasi.


Pendahuluan
Keberhasilan suatu bangsa dimasa yang akan datang dapat dilihat dari kualitas pendidikannya. Pendidikan yang berkualitas dan merata akan menjanjikan masa depan yang cerah bagi suatu bangsa. Sebaliknya pendidikan yang tidak berkualitas dan terpusat pada daerah-daerah tertentu saja akan menuntun bangsa ini dalam gerbang kehancuran.
Dalam Pembukaan UUD 1945 tertera tujuan berdirinya negara Indonesia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Deversifikasi dari amanat itu adalah dalam pasal 31 ayat 2 tertera, "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya." Oleh karena itu suatu keganjalan dan kekeliruan yang besar jika terdapat 10,268 juta siswa usia wajib belajar (SD dan SMP) yang tidak menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Di sisi lain, masih ada sekitar 3,8 juta siswa yang tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA(DW, 2011). Dari jumlah di atas sebagian besarnya adalah anak-anak dari orang tua yang memiliki tingkat ekonomi menengah kebawah. Dari UU diatas tentunya merupakan kewajiban negara untuk menyekolahkan anak-anak yang kurang mampu. Namun pada kenyataannya sekolah dan kuliah bagi sebagian besar anak-anak miskin di Indonesia adalah mimpi yang sempurna yang tidak mungkin dapat mereka gapai kecuali dalam dreamworld itu sendiri.
Pendidikan bukanlah seperti air PDAM yang hanya mengalir pada orang-orang  yang membayar saja. Pendidikan seharusnya seperti air hujan yang jatuh dan turun merata dimana saja dan pada siapa saja.  Namun wajah pendidikan di Indonesia saat ini lebih mirip air PDAM, hanya kaum yang perekonomiannya menengah ke atas saja yang  dapat merasakan segarnya bersekolah terutama di sekolah negeri dan swasta yang elite. Sedangkan untuk anak-anak dari perekonomian menengah kebawah seakan akan dikatakan pada mereka “ Anak orang miskin dilarang bersekolah”.
Disadari ataupun tidak pendidikan di indonesia telah dikomersialisasikan dan diakomodasikan. Pendidikan telah jauh melenceng dari tujuannya yaitu untuk pembebasan. Bukannya memberikan kebebasan bagi  manusia pendidikan justru memberikan batasan yang membelenggu. Semakin lama angka putus sekolah di Indonesia semakin tinggi. Bantuan BOS dari pemerintah yang banyak diselewengkan juga meningkatkan rasio komersialisasi dan komoditasi pendidikan di Indonesia.
Cermin Pendidikan Di Indonesia
Sistem pendidikan Nasional telah diatur dan ditetapkan secara apik dan rapi dalam UU Republik Indonesia No: 20 tahun 2003. Namun sistem yang telah dirancang secara sempurna itu hanyalah obralan birokrasi pendidikan semata karena pengimplementasinanya dirasa sangat kurang dalam pendidikan Nasional. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kualitas pendidikan Indonesia dengan negara-negara lainnya. Indonesia hanya menempati peringkat ke-69 Pada tahun 2011 lalu. peringkat ini menurun 4 angka dari peringkat ditahun 2010 yang menempati peringkat 65 ( Aripianto,2012)
Anggaran negara untuk pendidikan memang tidak sedikit. namun seperti sudah menjadi budaya di Indonesia selang yang berisi kucuran itu bocor dari pangkal sampai akhir sehingga yang sampai pada unjungnya hanya sisa atau beberapa tetes saja. Sehingga dana BOS yang seharusnya cukup untuk mengoperasikan sekloah menjadi kurang dan akhirnya dengan sangat terapaksa pihak sekolah harus mencari uang dari peserta didik untuk memeperbaiki dan mengoperasikan sekolah
Komersialisasi pendidikan seperti menjadi kebudayaan baru dalam masyarakat Indonesia. apalagi disaat tahun ajaran baru, menjadi moment yang sangat tepat untuk menarik keuntungan yang sebesar-besarnya dari orang-orang yang gila akan pamor pendidikan yang elite. Jadi Kenyataan saat ini seolah–olah menimbulkan hukum yang tidak terlegitiminasi tentang larangan bersekolah untuk anak-anak yang kurang mampu.
komersialissi dan komoditasi pendidikan yang menemptakan lembaga pendidikan seperti sebuah pabrik pencetak uang. Memiliki sebab-sebab yang perlu kita kaji. Terutama masalah larinya anggaran pendidikan yang kian tahun kian tinggi. Seharusnya anggaran pendidikan tersebut mampu menciptakan sekolah-sekolah yang dapat dijangkau oleh seluruh kalangan masyarakat  di negeri gemah ripah loh jinawi ini.
Korupsi di tingat pendidikan
Korupsi diranah pendidikan bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Korupsi di tingkat pendidikan merupakan korupsi bertingkat mulai dari Depdiknas sampai tingkat bawah seperti lembaga pendidikan. Dari tingkat pendidikan SD hingga PT banyak ditemui kasus-kasus penyelewengan dana pendidikan, terutama pada tingkat sekolah dasar dan menengah ke atas rawan terjadinya korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah.
Anggaran negara untuk pendidikan kian tahun kian naik, hal ini tidak singkron dengan biaya sekolah diberbagai tingkatan jenjang pendidikan yang kian tahun juga kian melonjak. Kejadian ini tentu sangat mengherankan, mengingat biaya operasional sekolah sudah digrastiskan atau ditanggung oleh pemerintah. Tapi pungutan dari sekolah kepada peserta didik terus berlanjut dengan berbagai modus. Kenaikan anggaran pendidikan malah membuat subur korupsi diranah pendidikan, hingga kerugian negara semakin besar.
ICW ( Indonesia Coruption Watch ) menyatakan bahwa pada tahun 2011 sektor pendidikan paling banyak dikorupsi. Hasil pantauan ICW menyebutkan dari 436 kasus yang ditangani aparat penegak hukum, sekitar 12 persen atau sebanyak 54 kasus terjadi pada sektor pendidikan. Sisanya terjadi di sektor keuangan daerah, sosial kemasyarakatan dan transportasi serta sektor lainnya (Wardah,Fatiyah, 2012).
Sterilisasi korupsi di ranah pendidikan
Ada asap tentu ada api, Tidak akan ada korupsi dalam ruang lingkup dunia pendidikan jika tidak ada peluang. Ketidaktahuan masyarakat tentang fungsi dana BOS juga menjadi pemicu mudahnya korupsi tersebut. Masyarakat desa pada umumnya tidak tahu menahu tentang adanya dana BOS. Sehingga mereka mau saja disuruh membayar berbagai pungutan oleh pihak sekolah. Perlu adanya penyuluhan kepada para wali murid tentang sistem administrasi pendidikan tersebut, perlu adanya transparasi penggunaan dana pendidikan, setidaknya satu kali dalam satu tahun.
Banyak sekali kasus korupsi dengan berbagai modus dalam dunia pendidikan di Indonesia, namun yang ditangani hanya segelintir kasus saja. Hal ini tentu menyamankan tikus tikus koruptor untuk terus menggerogoti bangku-bangku sekolah. Untuk itu perlu adanya pemeriksaan lebih teliti dan penyelidikan yang lebih tajam mengenai korupsi dalam bidang pendidikan. Apalagi sudah terbukti bahwa laporan tentang penggunaan dana pendidikan oleh Depdiknas dinyatakan disclaimer. Ini adalah salah satu bukti bahwa Depdiknas tidak mampu menyajikan data penggunaan anggaran pendiidkan yang, transparan, partisipatis dan akuntabel.
Asas desentralisasi dalam ranah pendidikan juga menciptakan aktor-aktor korupsi baru. Berbagai modus korupsi seperti dana untuk DAK, penggandaan buku dll semakin marak. Sementara itu keacuhan masyarakat tentang dunia pendidikan juga semakin besar. Maka terbukalah pintu korupsi secara besar-besaran dlam dunia pendidikan. Kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam memeberantas korupsi di ranah pendidikan sangat penting. Terutama pengawasan, karena wali murid yang teliti dan kritis dapat menyempitkan pintu korupsi pendidikan. Karena pada dasaranya semua yang dilakukan negara adalah untuk rakyat. Dan pada akhirnya rakyatlah yang harus sejahtera.
Komersialisasi dan komoditasi pendidikan adalah hal yang sangat memprihatinkan. Pemerintah telah mengangggarkan dana yang sangat besar untuk pendidikan. Namun bagaikan selang yang mengalami kebocoran pada tubuhnya maka dana yang begitu besar itupun hanya mengelurakan remah-remah dana sisa koruptor. Sehingga pendidikan menjadi barang yang mahal harganya. Untuk itu perlu adanya kerjasama antara semua aspek baik pemerintah, Depdiknas, dan juga masyarakat untuk memeberantas korupsi di ranah pendidikan. Sehingga amanah pembukaan UUD 1945 bisa terlaksana yaitu cerdasnya seluruh lapisan rakyat di Indonesia. Dan marilah kita jadikan mimipi-mimpi sempurna jutaan anak di seluruh tanah Indonesia ini menjadi nyata. Sehingga kalimat “ Anak orang miskin dilarang bersekolah “ dapat terhapuskan dari lidah seluruh insan di Indonesia.
Kesimpulan
Pengawasan dana untuk pendidikan harus lebih ketat lagi. Masyarakat , walimurid terutama yang harus menjadi salah satu agen dalam pengawasan pengunaan dana pendidikan dari pemerintah tersebut. Masyarakat harus tanggap dan kritis mengenai dinamika dunia pendidikan. Pemrintah wajib mengimplementasikan isi dari pembukaan UUD 1945 dan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 31 ayat 2 Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.


`
Dafrat Pustaka

DW,Inggried. 2011.Angka Putus Sekolah dan Komersialisasi Pendidikan (online).( http://edukasi.kompas.com), di akses 19 Desember 2012.
Wardah Fathiyah. 2012.ICW: Sektor Pendidikan PalingBanyak Korupsi, (online), (http://www.voaindonesia.com), diakses 19 Desember 2012.
Aripianto.2012.Retorika di Dunia Pendidikan, (Online), (http://www.radarbangka.co.id). Diakses 19 Desember 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar