Sterilisasi
Korupsi Di Ranah Pendidikan, Sebagai Upaya Menjinakan Komersialisasi dan
Komoditasi Pendidikan
Abstrack
Dalam
Pembukaan UUD 1945 tertera tujuan berdirinya negara Indonesia, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan di indonesia
telah dikomersialisasikan dan diakomodasikan. Pendidikan telah jauh melenceng
dari tujuannya yaitu untuk pembebasan.
Pada tahun 2011 sektor pendidikan paling banyak
dikorupsi. Asas
desentralisasi dalam ranah pendidikan juga menciptakan aktor-aktor korupsi
baru. Berbagai modus korupsi seperti dana untuk DAK, penggandaan buku semakin marak. Sementara itu keacuhan
masyarakat tentang dunia pendidikan juga semakin besar. Angka pustus sekolah kian marak sedangkan
implementasi UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisten pendidikan Nasional pasal
31 ayat 2 tertera tidak pernah
terlihat.
Key Word : Pendidikan, Angka Putus sekolah,
Komersialisasi.
Pendahuluan
Keberhasilan
suatu bangsa dimasa yang akan datang dapat dilihat dari kualitas pendidikannya.
Pendidikan yang berkualitas dan merata akan menjanjikan masa depan yang cerah
bagi suatu bangsa. Sebaliknya pendidikan yang tidak berkualitas dan terpusat
pada daerah-daerah tertentu saja akan menuntun bangsa ini dalam gerbang
kehancuran.
Dalam
Pembukaan UUD 1945 tertera tujuan berdirinya negara Indonesia, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa. Deversifikasi dari amanat itu adalah dalam pasal
31 ayat 2 tertera, "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya." Oleh karena itu suatu keganjalan dan
kekeliruan yang besar jika terdapat 10,268 juta siswa usia wajib belajar (SD
dan SMP) yang tidak menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Di sisi lain,
masih ada sekitar 3,8 juta siswa yang tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA(DW, 2011). Dari jumlah di atas
sebagian besarnya adalah anak-anak dari orang tua yang memiliki tingkat ekonomi
menengah kebawah. Dari UU diatas tentunya merupakan kewajiban negara untuk
menyekolahkan anak-anak yang kurang mampu. Namun pada kenyataannya sekolah dan
kuliah bagi sebagian besar anak-anak miskin di Indonesia adalah mimpi yang
sempurna yang tidak mungkin dapat mereka gapai kecuali dalam dreamworld itu
sendiri.
Pendidikan
bukanlah seperti air PDAM yang hanya mengalir pada orang-orang yang membayar saja. Pendidikan seharusnya
seperti air hujan yang jatuh dan turun merata dimana saja dan pada siapa
saja. Namun wajah pendidikan di
Indonesia saat ini lebih mirip air PDAM, hanya kaum yang perekonomiannya
menengah ke atas saja yang dapat merasakan
segarnya bersekolah terutama di sekolah negeri dan swasta yang elite. Sedangkan
untuk anak-anak dari perekonomian menengah kebawah seakan akan dikatakan pada mereka
“ Anak orang miskin dilarang bersekolah”.
Disadari
ataupun tidak pendidikan di indonesia telah dikomersialisasikan dan
diakomodasikan. Pendidikan telah jauh melenceng dari tujuannya yaitu untuk
pembebasan. Bukannya memberikan kebebasan bagi
manusia pendidikan justru memberikan batasan yang membelenggu. Semakin
lama angka putus sekolah di Indonesia semakin tinggi. Bantuan BOS dari
pemerintah yang banyak diselewengkan juga meningkatkan rasio komersialisasi dan
komoditasi pendidikan di Indonesia.
Cermin Pendidikan Di
Indonesia
Sistem pendidikan
Nasional telah diatur dan ditetapkan secara apik dan rapi dalam UU Republik
Indonesia No: 20 tahun 2003. Namun sistem yang telah dirancang secara sempurna
itu hanyalah obralan birokrasi pendidikan semata karena pengimplementasinanya
dirasa sangat kurang dalam pendidikan Nasional. Hal ini dapat dilihat dari
tingkat kualitas pendidikan Indonesia dengan negara-negara lainnya. Indonesia hanya
menempati peringkat ke-69 Pada tahun 2011 lalu. peringkat ini menurun 4 angka
dari peringkat ditahun 2010 yang menempati peringkat 65 ( Aripianto,2012)
Anggaran
negara untuk pendidikan memang tidak sedikit. namun seperti sudah menjadi
budaya di Indonesia selang yang berisi kucuran itu bocor dari pangkal sampai
akhir sehingga yang sampai pada unjungnya hanya sisa atau beberapa tetes saja.
Sehingga dana BOS yang seharusnya cukup untuk mengoperasikan sekloah menjadi
kurang dan akhirnya dengan sangat terapaksa pihak sekolah harus mencari uang
dari peserta didik untuk memeperbaiki dan mengoperasikan sekolah
Komersialisasi
pendidikan seperti menjadi kebudayaan baru dalam masyarakat Indonesia. apalagi
disaat tahun ajaran baru, menjadi moment yang sangat tepat untuk menarik
keuntungan yang sebesar-besarnya dari orang-orang yang gila akan pamor pendidikan
yang elite. Jadi Kenyataan saat ini seolah–olah menimbulkan hukum yang tidak
terlegitiminasi tentang larangan bersekolah untuk anak-anak yang kurang mampu.
komersialissi
dan komoditasi pendidikan yang menemptakan lembaga pendidikan seperti sebuah
pabrik pencetak uang. Memiliki sebab-sebab yang perlu kita kaji. Terutama
masalah larinya anggaran pendidikan yang kian tahun kian tinggi. Seharusnya
anggaran pendidikan tersebut mampu menciptakan sekolah-sekolah yang dapat
dijangkau oleh seluruh kalangan masyarakat
di negeri gemah
ripah loh jinawi ini.
Korupsi di tingat
pendidikan
Korupsi
diranah pendidikan bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Korupsi
di tingkat pendidikan merupakan korupsi bertingkat mulai dari Depdiknas sampai
tingkat bawah seperti lembaga pendidikan. Dari tingkat pendidikan SD hingga PT banyak
ditemui kasus-kasus penyelewengan dana pendidikan, terutama pada tingkat
sekolah dasar dan menengah ke atas rawan terjadinya korupsi dana Bantuan
Operasional Sekolah.
Anggaran
negara untuk pendidikan kian tahun kian naik, hal ini tidak singkron dengan
biaya sekolah diberbagai tingkatan jenjang pendidikan yang kian tahun juga kian
melonjak. Kejadian ini tentu sangat mengherankan, mengingat biaya operasional
sekolah sudah digrastiskan atau ditanggung oleh pemerintah. Tapi pungutan dari
sekolah kepada peserta didik terus berlanjut dengan berbagai modus. Kenaikan
anggaran pendidikan malah membuat subur korupsi diranah pendidikan, hingga
kerugian negara semakin besar.
ICW
( Indonesia Coruption Watch ) menyatakan
bahwa pada tahun 2011 sektor pendidikan paling banyak dikorupsi. Hasil pantauan
ICW menyebutkan dari 436 kasus yang ditangani aparat penegak hukum, sekitar 12
persen atau sebanyak 54 kasus terjadi pada sektor pendidikan. Sisanya terjadi
di sektor keuangan daerah, sosial kemasyarakatan dan transportasi serta sektor
lainnya (Wardah,Fatiyah, 2012).
Sterilisasi korupsi di
ranah pendidikan
Ada
asap tentu ada api, Tidak akan ada korupsi dalam ruang lingkup dunia pendidikan
jika tidak ada peluang. Ketidaktahuan masyarakat tentang fungsi dana BOS juga menjadi
pemicu mudahnya korupsi tersebut. Masyarakat desa pada umumnya tidak tahu
menahu tentang adanya dana BOS. Sehingga mereka mau saja disuruh membayar
berbagai pungutan oleh pihak sekolah. Perlu adanya penyuluhan kepada para wali
murid tentang sistem administrasi pendidikan tersebut, perlu adanya transparasi
penggunaan dana pendidikan, setidaknya satu kali dalam satu tahun.
Banyak
sekali kasus korupsi dengan berbagai modus dalam dunia pendidikan di Indonesia,
namun yang ditangani hanya segelintir kasus saja. Hal ini tentu menyamankan
tikus tikus koruptor untuk terus menggerogoti bangku-bangku sekolah. Untuk itu
perlu adanya pemeriksaan lebih teliti dan penyelidikan yang lebih tajam
mengenai korupsi dalam bidang pendidikan. Apalagi sudah terbukti bahwa laporan
tentang penggunaan dana pendidikan oleh Depdiknas dinyatakan disclaimer. Ini
adalah salah satu bukti bahwa Depdiknas tidak mampu menyajikan data penggunaan
anggaran pendiidkan yang, transparan, partisipatis dan akuntabel.
Asas
desentralisasi dalam ranah pendidikan juga menciptakan aktor-aktor korupsi
baru. Berbagai modus korupsi seperti dana untuk DAK, penggandaan buku dll
semakin marak. Sementara itu keacuhan masyarakat tentang dunia pendidikan juga
semakin besar. Maka terbukalah pintu korupsi secara besar-besaran dlam dunia
pendidikan. Kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam memeberantas korupsi di
ranah pendidikan sangat penting. Terutama pengawasan, karena wali murid yang
teliti dan kritis dapat menyempitkan pintu korupsi pendidikan. Karena pada
dasaranya semua yang dilakukan negara adalah untuk rakyat. Dan pada akhirnya
rakyatlah yang harus sejahtera.
Komersialisasi
dan komoditasi pendidikan adalah hal yang sangat memprihatinkan. Pemerintah
telah mengangggarkan dana yang sangat besar untuk pendidikan. Namun bagaikan
selang yang mengalami kebocoran pada tubuhnya maka dana yang begitu besar
itupun hanya mengelurakan remah-remah dana sisa koruptor. Sehingga pendidikan
menjadi barang yang mahal harganya. Untuk itu perlu adanya kerjasama antara
semua aspek baik pemerintah, Depdiknas, dan juga masyarakat untuk memeberantas
korupsi di ranah pendidikan. Sehingga amanah pembukaan UUD 1945 bisa terlaksana
yaitu cerdasnya seluruh lapisan rakyat di Indonesia. Dan marilah kita jadikan
mimipi-mimpi sempurna jutaan anak di seluruh tanah Indonesia ini menjadi nyata.
Sehingga kalimat “ Anak orang miskin dilarang
bersekolah “ dapat terhapuskan dari lidah seluruh insan di Indonesia.
Kesimpulan
Pengawasan dana untuk pendidikan harus lebih ketat
lagi. Masyarakat , walimurid terutama yang harus menjadi salah satu agen dalam
pengawasan pengunaan dana pendidikan dari pemerintah tersebut. Masyarakat harus
tanggap dan kritis mengenai dinamika dunia pendidikan. Pemrintah wajib
mengimplementasikan isi dari pembukaan UUD 1945 dan UU No 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional pasal 31 ayat 2 Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
`
Dafrat Pustaka
DW,Inggried. 2011.Angka
Putus Sekolah dan Komersialisasi Pendidikan (online).( http://edukasi.kompas.com),
di akses 19 Desember 2012.
Wardah Fathiyah. 2012.ICW:
Sektor Pendidikan PalingBanyak Korupsi, (online), (http://www.voaindonesia.com),
diakses 19 Desember 2012.
Aripianto.2012.Retorika di
Dunia Pendidikan, (Online), (http://www.radarbangka.co.id).
Diakses 19 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar